A. Pendahuluan
“Orientalis” bagi sebagian kalangan
sering kali dianggap sebagai “momok” yang harus diwaspadai dan disingkirkan
jauh-jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah-olah obyektif dan
autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya “berkedok” sebagai pakar (scholar/expert)
dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang “jauh” (far
eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang “dekat” (near
eastern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).[1]
Tetapi bagi sebagian yang lain
tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari keberadaannya yang memang
problematis. Satu sisi, orientalis sangat merugikan karena kajian dan analisis
yang dilakukannya seringkali dimaksudkan untuk mendiskreditkan dan menghegemoni
dunia islam. Tetapi di sisi lain, tidak jarang mereka melakukan analisis dan
kajian dengan begitu objektif, sehingga -diakui atau tidak- mereka telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur pada umumnya,
dan dunia Islam khususnya.
Sikap kritis pada setiap karya para
orientalis, berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan al-Qur’an khususnya,
jelas sangat diperlukan dalam dunia akademis. Dengan kata lain, kritik yang
sebaiknya diarahkan pada mereka bukan berdasarkan agama mereka bukan Islam,
tetapi atas dasar semangat untuk mencari kebenaran ilmiah.[2]
B. Sekilas Kajian Orientalis
terhadap al-Qur’an
Perhatian ilmiah orientalis terhadap
al-Qur’an bermula dengan kunjungan Petrus Venerabilis, kepala Biara Cluny, ke
Toledo pada perempatan kedua abad ke-XII.[3] Ia membentuk dan membiayai suatu team penerjemah yang
ditugaskan menerjemahkan serangkaian teks Arab yang secara keseluruhan akan
merupakan pijakan ilmiah bagi para missionaris Kristen yang berurusan dengan
Islam. Hasil kerja team ini dikenal sebagai Cluniac Corpus, yang kemudian
tersebar luas, tetapi tidak digunakan secara menyeluruh, hanya bagian-bagian
yang memiliki manfaat langsung dan berguna dalam polemik yang dieksploitasi
serta dikutip tanpa komentar.[4]
Asumsi dasar para orientalis
menggugat al-Qur’an dilatarbelakangi dua hal, pertama, kekecewaan
orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka. Kedua, disebabkan
oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an. Mayoritas
cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel. Karena pada
kenyataannya Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti tidak asli.
Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk
membedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan. Sebagaimana
ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland:
“Until the beginning of the
fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even
for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were
so familiar that they would adapt the text of one gospel to that of another.
They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by
their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or
more substantively.[5]
Kekecewaan itulah yang mendasari
para orientalis menyebar isu adanya keterpengaruhan al-Qur’an dari tradisi
mereka dan menganggap kodifikasi al-Qur’an belum final, mereka berasumsi adanya
kemungkinan kekurangan atau ketertinggalan ayat dalam mushaf Usmani.[6]
Menurut Andrew Rippin, orientalis
terkenal dalam studi al-Qur’an, Abraham Geiger (1874)[7] termasuk yang pertama kali menggunakan pendekatan
pengaruh Yahudi terhadap al-Qur’an. Menurut Geiger, seorang pendiri dan
pemimpin gerakan Reformasi Yahudi di Jerman, ajaran Muhammad meminjam dari
agama Yahudi. Kata-kata yang terdapat di dalam al-Qur’an seperti Tabut,
Taurat, Jannatu ‘Adn, Jahannam, Ahbar, Darasa, Rabani, Sabt, Taghut, Furqan,
Ma’un, Masani, Malakut berasal dari bahasa Ibrani. Selain itu, hal-hal yang
menyangkut keimanan dan doktrin, hukum-hukum, moral, pandangan tentang
kehidupan dan cerita-cerita yang ada di dalam al-Qur’an, tidak terlepas dari
pengaruh agama Yahudi. Mengenai ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang mengecam
Yahudi, Geiger berpendapat bahwa kecaman itu disebabkan Muhammad telah
menyimpang dan salah mengerti tentang doktrin-doktrin agama Yahudi.
Pemikiran Geiger kemudian dipuji dan
dikembangkan lagi oleh Theodor Noldeke[8] yang pada tahun 1860 menulis tentang sejarah
al-Qur’an (Geschichte des Qorans). Dalam karyanya ini, Noldeke berusaha
merekonstruksi sejarah al-Qur’an. Buku Noldeke ini kemudian diedit dan direvisi
secara beramai-ramai oleh beberapa Orientalis terkemuka Jerman lainnya dan
dikerjakan selama 68 tahun sejak edisi pertama dan selama 40 tahun sejak
diusulkannya edisi kedua. Hasilnya, sampai saat ini, menjadi karya standar
dalam masalah sejarah kritis penyusunan al-Qur’an bagi para Orientalis.
Murid Noldeke, bernama Friedrich
Schwally, mengkritik pendapat gurunya. Menurut Schwally, yang lebih berpengaruh
terhadap Islam adalah Kristen, dan bukan Yahudi. C. C. Torrey, seorang
profesor di Universitas Yale, Amerika Serikat, mempertahankan pendapat Geiger.
Torrey membahas secara panjang lebar mengenai pengaruh Yahudi dalam Islam dalam
karyanya “The Jewish Foundation of Islam”.[9]
Namun, kemudian, ‘Teori Pengaruh’
ini dikembangkan lebih jauh lagi. Bahwa, Islam bukan hanya dipengaruhi oleh
Yahudi dan Kristen, tetapi juga oleh unsur-unsur budaya. Seorang Misionaris
Inggris, W. St. Clair Tisdall menegaskan bahwa Islam itu bukan bersumber dari
‘langit’, tapi bersumber dari ragam agama dan budaya. Menurut Tisdall, konsep
Islam tentang Tuhan, haji, cium Hajar Aswad, menghormati Ka’bah, semuanya
diambil dari budaya jahiliyah. Shalat 5 waktu dari tradisi Sabian. Kisah Nabi
Ibrahim, Sulaiman, Ratu Balqis, Harut Marut, Habil Qabil dari Yahudi. Ashabul
Kahfi dan Maryam dari Kristen. Tidak ketinggalan dari Hindu dan Zoroastria,
yaitu Isra’ Mi’raj dan jembatan (shirath) di hari kiamat.
Pada tahun 1937, kemudian muncul
Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi Mushaf Utsmani dan membuat mushaf
baru. Orientalis Australia ini ingin merekonstruksi teks Al-Qur’an berdasarkan
Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud al-Sijistani yang ia anggap
mengandung bacaan-bacaan tandingan dalam mushaf (yang ia istilahkan dengan ‘rival
codices‘). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan
Otto Pretzl[10] yang pernah bekerja keras mengumpulkan berbagai foto lembaran-lembaran
(manuscript) Al-Qur’an dan berbagai sumber seperti buku-buku tafsir,
hadis, kamus Qira’at dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur’an
(tetapi gagal, karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II
yang menghancurkan Jerman). Sejumlah besar bahan yang telah mereka himpun,
musnah terkena bom tentara sekutu. Sampai meninggalnya Jeffrey dan Pretzl,
proyek ambisius al-Qur’an edisi kritis tidak pernah terlaksana.
Seorang Orientalis lain, Gerd A.
Puin mengklaim bahwa dia telah menemukan manuskrip lama di Yaman yang konon
mengandung qira’ah yang lebih awal dari qira’ah tujuh yang
terkandung dalam Mushaf Utsmani. Manuskrip tersebut mengandung qira’ah
yang lebih banyak dari qira’ah tujuh, sepuluh, atau empat belas.[11]
Baru-baru ini, muncul lagi seorang
dengan nama samaran “Christoph Luxenberg.” la mengklaim bahwa Al-Qur’an hanya
bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic
(bahasa Aramaic dalam dialek Syriac). Luxenberg dengan nekat mengklaim bahwa:
(1) bahasa Al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut dia,
banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami (in
einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada
bahasa Syro-aramaic yang konon merupakan lingua franca pada masa itu;
(2) Bukan hanya kosa-katanya berasal dari Syro-aramaic, bahkan isi ajarannya
pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria (Peshitta);
(3) Al-Qur’an yang ada tidak autentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang
(Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist
eine kritische Edition…. sicherlich wuenschenwert). Selengkapnya akan
dijelaskan pada bab tersendiri.[12]
John Wansbrough[13] tidak ketinggalan menyerang al-Qur’an. Hasil kajian
yang dilakukannya dalam menganalisis ayat-ayat al-Qur’an berkesimpulan bahwa
ada keterpengaruhan Yahudi-Kristen, perpaduan antara tradisi dan al-Qur’an
sebagai penciptaan post-profetik. Dalam kaitannya dengan isi al-Qur’an
menunjukkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat adanya kesamaan dengan kitab
sebelumnya.[14] Lebih jauh ia mengatakan, ada kemungkinan memberlakukan
al-Qur’an seperti agama Yahudi dan Kristen dalam konteks historis.[15]
Pada dasarnya, pandangan-pandangan
para orientalis ini berkisar antara keterpengaruhan bahasa al-Qur’an dengan
tradisi mereka. Oleh karena itu, tulisan singkat ini lebih khusus akan
mengungkap seputar Qira’at al-Qur’an dan sejarah kodifikasinya disertai
dengan pandangan Christoph Luxemberg dan bukunya.
C. Kesalahan Orientalis dan
Autentisitas Al-Qur’an
Kajian orientalis terhadap Al-Qur’an
tidak sebatas mempersoalkan autentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat
adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap
Islam dan isi kandungan Al-Qur’an (theories of borrowing and influence), baik
yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi
‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut seperti dari literatur dan tradisi
Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain) maupun yang
membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliah, Romawi, dan lain sebagainya.
Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur’an banyak yang
keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.[16]
Ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi dan diingat dalam menghadapi serangan orientalis, sekaligus
membuktikan autentisitas al-Qur’an. Pertama, pada
prinsipnya Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm atau writing) tetapi
merupakan “bacaan” (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan
dan sebutan. Baik proses turun-(pe-wahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran
dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan
tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah “membaca
dari ingatan” (qara’a ‘an zhahri qalbin; to recite from memory). Adapun
tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dicatat,
atau dituangkan menjadi tulisan di atas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain
sebagainya berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera
dalam ingatan sang qari’/muqri’.[17]
Proses transmisi semacam ini,
dilakukan dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke
generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur’an
sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW dan
diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini. Ini berbeda dengan
kasus Bibel, di mana tulisan (manuscript evidence) dalam bentuk
papyrus, scroll, dan sebagainya memegang peran utama dan berfungsi sebagai
acuan dan landasan bagi Testamentum Gospel.
Jadi seluruh kekeliruan orientalis
bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin,
misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur’an sebagai
‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio.
Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an us Text“), mereka
lantas hendak menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam
penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form
criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap
Al-Qur’an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8 M
dengan masyarakat sekeliling mereka.
Mereka mengatakan, bahwa mushaf yang
ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri
tidak tahu pasti), dan karena itu mereka lantas mau membuat edisi kritis,
merestorasi teksnya, mau membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip
yang ada. Bahwa mereka menyamakan Al-Qur’an dengan Bibel diakui sendiri oleh
Karl-Heinz Ohlig:
“Ein Blick darauf, wie in den
vierzig Jahren bis zur Entstehung des Markusevangeliums Predigt und Leben Jesu
kerygmatisch umgeformt und durch Gemeindetradition angereichnet wurden, so dass
der historische Jesus kaum noch zu erkennen ist, mag zeigen, wie auch die
Mohammedueberlieferung variiert worden sein koennte”[18]
Kedua, meskipun
pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Qur’an juga dicatat
dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Hingga wafatnya Rasulullah
SAW, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi
para sahabat Nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitas-nya satu sama
lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only),
banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar
(tafsir/glosses) di pinggir atau-pun di sela-sela ayat yang mereka
tulis. Baru kemudian, menyusul berkurangnya jumlah penghafal Al-Qur’an karena
gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam’) pun dilakukan oleh sebuah
tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a hingga
Al-Qur’an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand)
dan mutawatir dari Nabi SAW.
Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/
634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat
(23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada
Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah
sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua
Qira’at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai kesahihan
periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan
dan perselisihan.[19] Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang
masing-masing mengandung Qira’at mutawatir yang disepakati kesahihan
periwayatannya dari Nabi SAW.
Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan
proses kodifikasinya. Para orientalis yang ingin mengutak-atik Al-Qur’an
biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya.
Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif. dan
mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada awal abad ke ke-3 H atau
ke-9 M. Jeffery, misalnya, berkata: “That he [i.e. Abu Bakr r.a.] ever
made an official recession as the orthodox theory demands is exceedingly
doubtful“. la juga mengklaim bahwa “… the text which Uthman canonized
was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went
before the canonical text.[20]
Ketiga, salah-paham
tentang rasm dan Qira’at . Sebagaimana diketahui, tulisan Arab
atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal
Islam, Al-Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda-baca sedikit pun.[21] Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian.
Meskipun demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah,
mengingat kaum muslimin saat itu belajar Al-Qur’an langsung dari para sahabat,
dengan cara menghafal, dan bukan dan tulisan. Mereka tidak bergantung pada
manuskrip atau tulisan.[22]
Jadi, orientalis seperti Jeffery dan
Puin telah salah-paham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul
inilah sumber variant readings -sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel
serta keliru menyamakan Qira’at dengan “readings“, padahal Qira’at
adalah “recitation from memory” dan bukan “reading the text“.
Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaidahnya adalah bahwa tulisan harus
mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi SAW (“ar-rasmu tab’iun li
al-riwayah“) dan bukan sebaliknya.
Orientalis juga salah-paham mengenai
“rasm” Al-Qur’an. Dalam bayangan keliru mereka, munculnya bermacam-macam
Qira’at disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga
setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca “sesuka-hatinya”. Padahal
ragam Qira’at telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka
juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur’an telah disepakati dan didesain
sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung perbagai Qira’at yang
diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata
berikut:
- “m-l-k” (Q.S. 1: 4) demi Mengakomodasi Qira’at ‘Asim, al-Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf (“maaliki“-panjang), sekaligus Qira’at Abu ‘Amr, Ibnu Katsir, Nafi’, Abu Ja’far, dan Ibnu ‘Amir (“maliki“-pendek).[23]
- “y-kh-d-’-w-n” (Q.S. 2: 9) sehingga memungkinkan dibaca “yukhaadi’uuna“ (berdasarkan Qira’at Nafi’, Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr) dan “yakhda’uuna” (mengikut Qira’at ‘Ashim, al-Kisa’i, Ibnu ‘Amir dan Abu Ja’far).[24]
- “w-’-d-n-’ ” (Q.S. 2: 51) ditulis demikian untuk menampung Qira’at Abu ‘Amr, Abu Ja’far, Ya’qub (“wa’adnaa” pendek, tanpa alif setelah waw) dan Qira’at Ibnu Katsir, ‘Asim, Al-Kisa’I serta Ibnu ‘Amir (“waa’adnaa” waw panjang, dengan alif). [25]
Jadi, pada prinsipnya, tidak ada Qira’at
mutawatir yang tidak terwakili, semuanya telah ditampung oleh rasm Utsmani,
sebab para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah Qira’at yaitu:[26] Pertama, isnad Qira’at harus mutawatir.
Kedua, Qira’at harus sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, karena Qira’at
yang tsabitah dan baku akan menjadi penguat bagi bahasa Arab dan
bukan sebaliknya.
Ketiga, Sesuai
dengan rasm mushaf Uthmani atau sesuai dengan salah satu dari 6 masahif rasm
Utsmani (yakni yang dikirim ke Mekkah, Basrah, Kufah, Dimashq, Madinah, dan
yang disimpan oleh Khalifah Utsman r.a sendiri). harus selaras dengan khat salah
satu masahif, meskipun hanya kemungkinan. Karena pengucapan suatu
kalimat yang sama dengan yang tertulis dapat saja sesuai dengan rasm al-mushaf
al-Utsmani. Dan bisa juga itu hanya kemungkinan, karena apa yang kita
ketahui bahwa rasm al-mushaf itu punya asal-usul yang khusus yang
dapat dibaca lebih dari satu bacaan.
Dalam konteks ini, seperti (ملك يوم الد
ين) yang ditulis
dengan maliki tanpa alif di seluruh masahif. Maka barang-siapa
yang membacanya tanpa alif, itu sesuai dengan rasm secara determinatif
(tahqiqan) dan barangsiapa yang membacanya dengan مالك dengan tambahan alif maka itu
sesuai secara implikatif (taqdiran).
Di sini, yang dimaksud dengan syarat
“sesuai dengan salah satu masahif rasm Utsmani” adalah “sesuai
dengan Qira’at yang ditulis dalam mushaf tertentu, meskipun tidak pada
yang lain” (Contohnya, Q.S 26:217). Dalam mushaf yang dikirim ke Madinah dan
Syam (Damaskus) tertulis “fa-tawakkal” (dengan fa’-sesuai dengan Qira’at
yang diriwayatkan oleh Nafi’, Ibnu ‘Amir, Abu Ja’far), sementara dalam
mushaf yang lain (Mekkah, Basrah, Kufah) tertulis “wa-tawakkal” (dengan
waw-mengikut Qira’at ‘Ashim, Ibnu Kathir, Abu ‘Amru, dan al-Kisa’i).
Perlu ditegaskan bahwa dalam kaitannya dengan orthografi mushaf ini, secara
umum Qira’at yang diterima karena telah memenuhi tiga syarat di atas
dapat dikategorikan sebagai berikut:[27]
- Dua Qira’at yang berbeda, tapi ditulis dengan salah satunya, seperti “s-r-t” (siraat), “y-b-s-t” (yabsutu), “m-s-y-t-r” (musaytir). Semuanya ditulis dengan sad, padahal aslinya sin, maka dibaca dengan sad sesuai rasm, dan juga dibaca dengan sin sesuai asal katanya.
- Dua Qira’at atau lebih yang berbeda, tapi ditulis dengan satu bentuk rasm yang bisa menampung semuanya, seperti rasm “k-b/t-r” yang mewakili dua qira’al “Qul fi-hima itsmun kabir/katsiir” (Q.S. 2:219), sebab dalam rasm Utsmani semuanya ditulis tanpa titik, baris atau harakat. Contoh lainnya dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 6 : rasm “f-t-b/th-y/b-n/t-w-” dapat menampung dua qiraat sekaligus: “fa-tabayyanu” dan “fa-tathabbatu.” [28]
- Kata atau kalimat dalam Qira’at yang mengandung tambahan atau pengurangan dan tidak mungkin ditulis dua kali atau lebih karena akan tercampur dan dapat mengacaukan. Misalnya (Q.S. 26 : 217) tersebut di atas. Contoh lainnya dalam Q.S. 2 : 132, dimana terdapat dua Qira’at :”wa wassa bihi” dan “wa awsa.” Yang pertama dibaca oleh selain Nafi’, Ibnu ‘Amir dan Abu Ja’far, sehingga dalam mushaf yang dikirim ke Syam dan Madinah tertulis: “wa awsa”, sementara dalam mushaf yang dikirim ke Kufah dan Basrah ditulis tanpa alif, “wa washshaa”.[29]
Yang masuk kategori ketiga cukup
banyak. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Sha’ban Muhammad Ismail dan
Universitas al-Azhar, jumlah Qira’at yang ditulis dengan rasm berbeda-beda
dalam mushaf Utsman, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata. Dari sini jelas, masahif
yang dikirim oleh Khalifah Utsman r.a ke berbagai kota itu beragam rasm-nya,
sesuai dengan bacaan Sahabat yang diutus untuk mengajarkannya.[30]
Bisa saja seorang imam atau
periwayat membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota
lain. Contoh-nya, Imam Hafsh di Kufah membaca Q.S. az-Zukhruf: 71, “tashtahiihi
al-anfus” (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah
dan Syam, padahal dalam mushaf Kufah tertulis dengan satu ha (“tashtahihi).
Hal ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah Qira’at adalah
sesuai dengan salah satu rasm al-mushaf al-Utsmani. Sebaliknya, jika
suatu Qira’at tidak tercatat dalam salah satu al-mushaf al-Utsmani, Qira’at
tersebut dianggap ‘shadh’ dan tidak dapat diterima, karena bertentangan
dengan rasm yang disepakati, rasm yang telah menampung dan mewakili
semua Qira’at mutawatir. Ini berarti Qira’at yang tidak
dilengkapi dengan tiga syarat di atas dikategorikan sebagai al-Qira’at
al-shadzah. Jika demikian halnya, maka improvisasi para orientalis seperti
Jeffrey, Puin, Luxenberg wa man tabi ‘ahum dianggap a fortiori
batal, karena tidak dibuktikan secara ilmiah.
D. Christoph Luxenberg dan
pandangannya
Nama sebenarnya adalah Ephraem
Malki, warga negara Jerman asal Lebanon, penganut fanatik Kristen (Syriac
Orthodox), memperoleh M.A. dan Dr. Phil dalam bidang Arabistik, Pada 28 Mei
2003 yang lalu dia sempat diundang memberi kuliah umum di Universitaet des
Saarlandes tentang “Pengaruh bahasa Aramaic terhadap bahasa Al-Qur’an (Der
Einllussdes Aramaeischen nut’die Spruche des Korans). [31]
Untuk meyakinkan para pembaca
bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. Menurutnya, kata “qaswarah” dalam
Q.S. 74: 51 mestinya dibaca “qasuurah”. Lalu kata “sayyi’at ‘(Q.S. 4:18)
mestinya dibaca “saniyyat” dari bahasa Syriac “sanyata. “ Juga kata
“adhannaka” (Q.S. 41: 47) seharusnya dibaca “idh-dhaka”. Kemudian kata
“utullin” (Q.S. 68: 13) mestinya dibaca ”alin”, sedangkan kata “zanim” dalam
ayat yang sama harusnya dibaca “ratim ” sesuai dengan bahasa Syriac “rtim”.
Begitu pula kata “muzjatin” (Q.S. 12: 88) mestinya dibaca “murajjiyatin”, dari
bahasa Syriac “mraggayta”. Seterusnya kata “yulhiduna” (Q.S. 16:
103) harusnya dibaca “yalghuzuuna” dari bahasa Syriac “igez”. Kemudian kata
“tahtiha” (Q.S. 19: 24) mestinya dibaca sesuai dengan bahasa Syriac
“nahiitihaa”. Adapun kata “saraban” (Q.S. 18: 61) harusnya dibaca
menurut bahasa Syriac “syarya”.[32]
Yang lebih parah lagi, ia
mengutak-atik surah Al-’Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya,
sebagaimana surat al-Fatihah, diklaim diambil dari liturgi Kristen-Syria
tentang jamuan makan malam terakhir Yesus. [33]
Argumen Luxenberg bisa ditolak,
sebab seluruh uraiannya dibangun alas asumsi-asumsi yang keliru. Pertama,
ia mengira Al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh
seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan. Kedua, ia menganggap
tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai patokan, sehingga suatu
bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu pada teks. Ketiga, ia
menyamakan Al-Qur’an dengan Bibel, di mana pembaca boleh mengubah dan
mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit untuk
dipahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan pondasi
argumen-argumennya taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan
kebenarannya.
Namun pendapat ini dikritik oleh
seorang pakar semitistik dan direktur Orientalisches Seminar di Universitas
Frankfurt, Prof. Hans Daiber, dari sudut metodologi karya Luxenberg cukup
bermasalah, karena itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam reviewnya atas
buku Luxenberg, Daiber mengemukakan lima poin:
- Semua ahli filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu kata yang ditulis gundul tanpa baris/harakat dapat dibaca macam-macam, sehingga tulisan yang sama bisa dibaca berbeda, misalnya ‘banaat’. Ini bisa jadi tergantung konteksnya ataupun tergantung kehendak dan spekulasi sang pembaca. Dalam hal ini, Luxenberg memilih yang kedua. Lebih celaka lagi (ein gefaehrli-ches Spiel, kata Daiber) karena yang diutak-atik oleh Luxenberg bukan manuskrip gundul, melainkan kitab suci Al-Qur’an yang sudah jelas dan disepakati seluruh bacaannya, adalah tidak bijak kalau Luxenberg bersikeras mau mengubah bacaan Al-Qur’an.[34]
- Luxenberg bisa jadi keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya, bahwa mufassirun tidak bisa memahami kata-kata tertentu atau tidak bisa menjelaskan maksud ayat-ayat tertentu karena Al-Qur’an berbahasa Syriac. Bisa jadi sejumlah kosa-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an asli bahasa Arab tetapi belakangan mengalami pergeseran makna sehingga para mufassir mengalami kesulitan dalam menerangkannya.[35]
- Andaikata memang sejumlah kosakata tersebut berasal dari bahasa Syriac, bukan tidak mungkin kata-kata asing tersebut telah diislamkan, telah ditukar atau diisi dengan makna baru (Zusaetliche Bedeutungen) yang lebih dalam, lebih tinggi, dan lebih luas dari makna asalnya.[36]
- Untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1900!
- Bisa jadi juga kosakata Al-Qur’an memang bahasa Arab asli, tidak seperti yang dituduhkan oleh Luxenberg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya kebetulan saja. Sama halnya dengan kata “kepala” dalam bahasa Melayu-Indonesia yang mirip dengan kata “kefale” dalam bahasa Yunani Kuno (Ancient Greek). Kemiripan tidak mesti menunjukkan pengaruh atau pencurian. Sebagai contoh, Daiber menyebut antara lain kata-kata “fassala”, “jama’a”, “yassara”, “sayyara”, “mughadiban”, “daraba” dan “zawwaja” yang diklaim oleh Luxenberg telah dibaca keliru.[37]
E. Penutup
Demikian sedikit paparan mengenai
kajian seputar Qira’at al-Qur’an dan Sejarah Kodifikasinya menurut pandangan
orientalis. Apapun hasil yang dicapai para orientalis tentang kajiannya
terhadap Islam, kaum Muslim harusnya bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat
dari Barat, tanpa menghancurkan bangunan Islam. Tidak perlu mengikuti pemikir
Kristen Barat tanpa menyadari asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam
pemikiran tersebut serta dampak negatif yang ditimbulkannya. Selama mereka
tidak bisa membuktikan anggapannya secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahamad, Syihabuddin. (al-Banna’), Ithaaf
Fudhalaa’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ata ‘Asyara. Jilid I. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 1422
Al-Andalusi, Abu Hayyan. al-Bahr
al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1422.
Al-Fatih Suryadilaga, “Pendekatan
Historis John Wansbrough dalam Studi al-Qur’an” dalam Studi al-Qur’an
Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Al-Ibyariy, Ibrahim. Pengenalan
Sejarah al-Qur’an, terj. Saad Abd Wahid. Jakarta: Raja Grafindo Press,1995.
Al-Qattan ,Manna’ Khalil. Mabahis
fi ‘Ulum al-Qur’an, t.tp. t.th.
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum
al-Qur’an. Ed. Dr. Mustafa Dib al-Bugha’. Beirut: Dar Ibn Kasir, 1996
Al-Zahabi Muhammad Husein. al-Tafsir
wa al-Mufassirun.,Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Amal Taufik Adnan, Al-Qur’an di
Mata Barat Kajian Baru John Wansbrough dalam Ulum al-Qur’an Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan no. 4. vol. 1. tahun 1990.
________, Rekonstruksi Sejarah
al-Qur’an, Yogyakarta: Alvabet, 2005.
Arif, Syamsuddin’ Al-Qur’an,
Orientalisme dan Luxenberg dalam AL-INSAN Jurnal Kajian Islam Vol 1. no. 1.
Januari, 2005.
Armas,Adnin. Menelusuri Pemikiran
Orientalisme Terhadap Al-Qur’an dalam http:// www// INSIST. com. 2003.
Badawi, Abdurrahman. Mausu’ah
al-Mustasyriqin terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Said, Edward W. Orientalisme,
alih bahasa Asep Hikmat. Bandung, Pustaka, 1996.
Setiawan, Muhammad Nur Kholis. Interaksi
Sarjana Barat dengan Islam tentang Sejarah Teks al-Qur’an. Yogyakarta:
Puslit IAIN Sunan Kalijaga, 1998
Syamsuddin, Sahiron. dkk. Hermeneutika
al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003
[1] Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep
Hikmat (Bandung, Pustaka, 1996), hlm, 10
[2] Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur’an
Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 79
[3] Taufik Adnan Amal, Al-Qur’an di Mata Barat Kajian
Baru John Wansbrough dalam Ulum al-Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan no. 4.
vol. 1. tahun 1990. hlm. 39
[4] Ibid
[5] Kurt Aland and Barbara Aland, The Text of
the New Testatement (Michigan: Grand Rapids, 1995), hlm. 69. seperti
dikutip Syamsuddin Arif, Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg
dalam AL-INSAN Jurnal Kajian Islam Vol 1. no. 1. Januari, 2005, hlm. 10
[6] Sahiron Syamsuddin, dkk. Hermeneutika al-Qur’an
Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar