PENDEKATAN FENOMENOLOGI
A.
Pendahuluan
Agama adalah
ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang
terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi
simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan
demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan
pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai
sasaran penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan
terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan
sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual,
konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya.
Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti
dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan jangkauannya.[1]
Persoalannya, agama tidak konstan
akan tetapi selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, dalam arti
keduanya saling mempengaruhi. Sehingga menurut Taufik Abdullah, setidaknya
penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
- Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religionwissenschaft)
- Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya. (sosiologi, antropologi, sejarah dst.)
- Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran; kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah; kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.[2]
Penelitian agama tidak cukup hanya
bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu
sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak
memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus
dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami.[3]
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam
studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup
besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan
berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan
tertentu seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk
juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam
tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah
kajian yang dilakukan untuk memahami esensi (makna) dan atau melalui
manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa
tokoh yang mencetuskan pendekatan Fenomenologi dan bagaimana pengertian dari
pendekatan fenomenologi agama itu?
2.
Bagaimana
cara kerja fenomenologi agama dalam studi agama?
3.
Bagaimana
agama di pandang oleh pendekatan ini dan siapa yang menciptakan agama pada
pedekatan ini, dan contoh kasus yang dapat di selesaikan dengan pendekatan ini?
C.
Tokoh dalam Pendekatan Fenomenologi
Istilah
fenomenologi diperkenalkan oleh seorang filsuf dan matematikawan berkebangsaan
Swiss-Jerman Johann Heinrich Lambert dalam bukunya “Neues Organon” yang diterbitkan
pada 1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “The
Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau
artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk
mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan
teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[4]
Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan
istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen (noumena)
dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun
dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut
sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.
D.
Pengertian Fenomenologi Agama
G.W.F.
Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology
of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa
fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran,
sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh
seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut
mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat
“menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen)
dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau
manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu
mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya,
berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan
antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan
keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[5]
Edmund
Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf
Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis pendekatan
intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische
Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale
und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan
rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa
“science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah
satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah
adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan
pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa pengalaman hidup “life experiences” dapat
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.
Menurut Husserl, fenomenologi
merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan
kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari
sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu
pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi
fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat
“pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan
tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi
tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan
utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epochè dan eiditic
vision.
- Epochè vision. Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
- Eidetic vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[6]
Dari penjelasan di atas dapat
diketahui, bahwa feneomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to
show itself) atau menurut penampakannya sendiri (views itself), atau
menurut penjelasan Elliston, “phenomenology then means… to let what shows
itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and
from itself.”(fenomenology dapat berarti… membiarkan apa yang menunjukkan
dirinya sendiri dilihat melalui dan dalam batas-batas dirinya sendiri,
sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri). Untuk ini
Husserl menggunakan istilah “intensionalitas”, yakni realitas yang menampakkan
diri dalam kesadaran individu atau kesadaran intensional dalam menangkap
fenomena apa adanya.[7]
Alfred
Schutz
Tokoh lain yang ikut berperan
mengembangkan fenomenologi sebagai metodologi dalam sebuah penelitian adalah
Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi
interpretatif. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku
yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau
orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah “the stream consciousness”
(arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam pengalaman dapat dijangkau dengan
merefleksikan menemukan sember tertinggi fenomena makna (sinn) dan
pemahaman (verstehen).[8]
Fenomenologi
Agama
Fokus utama fenomenologi agama
adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek
yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan
dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan
pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari
pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya
mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
A method adopting the procedures of
epochè (suspension of previous
judgements) and eidetic intuition (seeing in to the meaning of
religion) to the study of the varied of symbolic expressions of that
which people appropriately respond to as being unrestricted value from them.
Sebuah metode yang menyesuaikan
prosedur-prosedur epochè [penundaan penilaian-penilaian sebelumnya] dan
intuisi eiditis [melihat kedalam makna agama] dengan kajian terhadap berbagai
ekspresi simbolik yang direspon orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas
bagi mereka.[9]
Menurut Noeng Muhadjir, secara
ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat
kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya
saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran
ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan
maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain
itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti
metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value
free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada
nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan keadilan.[10]
Pierre
Daniel Chantepie de la Saussaye
Saussaye menggunakan fenomenologi
agama sebagai sebuah kajian komparatif dimana cara kerjanya adalah dengan
mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara
sistematis. Saussaye membagi agama dalam dua wilayah penelitian yaitu esensi
dan manifestasi sebagaimana pemikiran Hegel. Dalam hal ini ia menggunakan
sejarah agama untuk kemudian dianalisa berdasarkan konsep-konsep filsafat.
Namun Saussaye dikritik karena lebih menggunakan analisa historis dan hanya
menitik beratkan pada ritual-ritual keagamaan serta tidak menggunakan
pendekatan filosofis.[11]
William
Brede Kristenen
Dalam pandangan Kristenen,
fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam
kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah,
Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan
mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristensen
berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari “makna”
fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna
fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang.
Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan atau
mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi
keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.[12]
Gerardus
Van der Leeuw
Dalam kritiknya terhadap Kristenen,
Van der Leew melihat pemahaman sebagai aspek subjektif dalam fenomenologi yang
secara inheren (menyatu) terjalin dari objektifitas sebuah manifestasi. Van der
Leew mengkorelasikan pengalaman subjektif, ekspresi dan pemahaman dengan tiga
level objektif penampakan yaitu relatifitas penyembunyian, relatifitas
transparansi dan secara berangsur-angsur (gradual) menuju manifestasi.
Fenomenologi agama Van der Leew didasari tiga bagian fundamental yaitu: Tuhan –
manusia – hubungan antara Tuhan dan manusia. Dalam hal ini hubungan antara
Tuhan dan manusia merupakan isu sentral yang mendasari pemikiran Van der Leew.[13]
Menurut Van der Leeuw, fenomenologi
mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga
hal prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berujud, (2) sesuatu itu
tampak, (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima
oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.[14]
Membiarkan
fenomena itu berbicara sendiri, sehingga oleh kaum fenomenolog, fenomenologi
dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya
sejalan dengan “prinsip” ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dinyatakan J.B.
Connant, bahwa:
“The
scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite
unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and
dependence upon experiments are guiding principles”. (Cara berpikir ilmiah
menuntut kebiasaan menghadapi kenyataan dengan tidak berprasangka oleh
konsepsi-konsepsi mana pun sebelumnya. Pengamatan yang cermat dan
ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun).
Dari pembicaraan beberapa tokoh yang
telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga
arus besar yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi
terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama
yang bisa diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif
dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3) fenomenologi
agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian
agama.
E.
Cara Kerja Pendekatan Fenomenologi
Setidaknya ada enam langkah atau
tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus
Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and manifestation: A
study in phenomenology of religion”:[15]
- Mengklasifikasikan fenomena keagamaam dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
- Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
- Melakukan “epochè” atau menunda penilaian (meminjam istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
- Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
- Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
- Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.
F.
Agama dalam pendekatan Fenomenologi dan siapa yang Menciptakan
Agama, serta Contoh kasus yang dapat diselesaikan oleh Pendekatan Fenomenologi.
Terkait dengan
perkembangan historisn fenomenologi Agama, penelitian Jacques Waardenberg Classical
Approaches to the Study of Religion (1973),
merupakan teks subtantif. Dia menulis :
Untuk menjadikan “agama” sebagai subjek penelitian empiris dan mulai
menelitinya sebagai realitas manusia, niscaya menuntut tidak hanya upaya yang
sungguh-sungguh melainkan juga keteguhan hati dan keberanian … salah satu lapangan
utama yang secara tradisional dianggap irasional dibuka tidak hanya terdapat
penelitian filosofis tetapi juga penelitian rasional.
Term
kunci yang digunakan Waardenberg adalah “empiris” dan “rasional”. Empiris
mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ilmiah sebagai suatu
metode diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterapkan kedalam ilmu-ilmu
social sebagai suatu pengujian terhadap struktur social dan perilaku Rasional
mengacu pada penelitian perilaku manusia sesuai dengan premis-premis dan
penemuan pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu, irasional mengindikasikan agama
sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan sesuai dengan parameter-parameter
tersebut. Dari analisisnya Feuerbach dan Marx, bahwa tugas fenomenolog adalah
menunjukan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi
terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara yang positif.[16]
Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi
pada dasarnya merupakan kritik terhadap ilmu-ilmu lama yang dianggap kaku.
Dalam pendekatan fenomenologi Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian
historis dan doktriner saja, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam
tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal, melainkan telah menjadi
sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari
perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari
satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Dengan
demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu
favorit. Artinya studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu
pengetahuan. [17]
Dalam studi
agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut dengan
general pattern dan particular pattern. General pattern adalah
sesuatu yang pasti ada pada setiap agama, di luar kemampuan pemeluknya,
seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, histori serta konstitusi,
dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari
agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut.
Ketika general
pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular
pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda,
misalnya dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen
berpegang konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat
sedangkan Kristen mempunyai kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini
lebih banyak peneliti yang bersifat subyektif karena berhubungan langsung
dengan keyakinan dirinya.
Jadi pendekatan
fenomenologi dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan untuk
melahirkan satu disiplin tersendiri yang bersifat obyektif dalam kajian agama
yang disertai dengan metodologi tersendiri pula. Mudahnya, pendekatan
fenomenologi adalah pendekatan yang mencoba menggabungkan sifat obyektif dan
subjektif yang ada dalam diri setiap pengkaji agama.
Terdapat dua
hal penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi, karakteristik
pertama, pentingnya netralitas. Artinya studi agama dengan pendekatan
fenomenologi lebih menekankan upaya pemahaman seorang pengkaji agama terhadap
agama yang dianut orang lain. Dengan demikian, seorang pengkaji diharapkan
untuk sementara mengesampingkan pemahaman dan komitmen terhadap agama yang
dianut, dan pada waktu yang sama mencoba mendekati agama orang lain berdasarkan
pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Karakteristik kedua adalah
kontruksi skema taxonomi dalam mengklasifikasi fenomena menembus batas-batas
komunitas agama, budaya, dan bahkan kategorisasi- kategorisasi peristiwa
sejarah (epoch).[18]
Dalam
kenyatannya, pedekataan fenomenologi ini tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi
membutuhkan bantuan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti: kalam,
antropologi, hermeneutic, sosiologi, histori, dan yang lain. Cara fenomenologi
mengetahui fakta atau data dengan kata lain bagaimana cara fenomenologi
memperoleh pengetahuan. Caranya adalah dengan menatap langsung kejadian atau
keadaan atau benda atau realitas yang menggejala. Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya
membuat uraian tentang fenonenologi dalam bukunya adalah :
Fenomenologi
adalah terusan dari fenomenon dan logos, kata logos yang disini yang menjadi
logi tak perlu diterangkan karena sudah dikenal dalam banyak susunan seperti
sosiologi, etnologi, biologi dan lainya.
Jadi fenomenologi berrti uraian atau percakapan tentang fenomenon atau
yang sedang menampilkan diri. Menurut cara berfikir berbicara filsafat dewasa
ini dapat juga dikatakan sesuatu hal ynag menggejala.
Kutiapan diatas menegaskan bahwa objek fenomenologi itu adalah
fakta atau gejala atau keadaan, kejadian atau benda atau realitas yang sedang
menggejala. Relalitas yang menggejala itu akan diambil pengertiannya menurut
tuntunan realitas itu sendiri, artinya pengertian yang sebenarnya dari realitas
itu, bukan pengertian yang tidak asl, misalkan pengertian yang sudah
terpengaruh oleh warna sesuatu teori tertentu atau pengertian yang popular
sebelumnya. [19]
Senada dengan Prof.Dr.N Driyarkaya, Joachim Wach mengemukakan dalam
bukunya, bahwa fenomenologi dapat diaplikasikan untuk menstudi agama dan
berpendapat bahwa sifat pokok fenomenologi itu adalah membiarkan realitas fakta,
atau kejadian, keadaan, atau benda
berbicara sendiri dalam suasana intention. Intention menurut Husserl
berarti kesengajaan mengarahkan kesadaran atau consciousness menyadari
atau mengalami realitas dalam kaitannya dengan yang mengelilingi. Barangkalli
kalau dibandingkan dengan istilah lain adalah sama dengan dalam keadaan
kebutuhannya, jadi holistic. Sedang berbicara sendiri itu tentunya yang
dimaksudkan tidak dengan memaksakan suatu skema atau teori yang sudah ada
sebelumnya. Dengan mengikuti Bleeker, Joachim Wach seterusnya berpendapat bahwa
prinsip pokok yang lain dari fenomenologi itu adalah sikap epoche dan eidetic
vision. Walaupun menurut Husserl sendiri yang namanya epoche itu
mempunyai pengertian bermacam-maca, tetapi yang di maksud oleh Wach di sana
barangkali adalah menunda mengambil keputusan tentang realitas yang ditatap
langsung itu serta menyaring pengetahuan-pengetahuan yang alami, dan editic
vision berarti mengambil pengertian yang inti dan yang murni yang memang
diharapkan anak muncul dengan sendirinya. Tentu saja pencaharian eidos atau
pengertian yang esensi itu tidak sekali terjadi ada epoche dan
melepaskan diri dari aneka macam teori, baik teori Filsafat, Teologi, Psikologi
atau lainya.[20]
Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya, Edumund Husserl (1859 – 1983)
sebenarnya bertujuan akan menerangkan bahwa pengertian atau pengetahuan manusia
benar-benar ada dan mempunyai obyek.
Hussel berangkat dari pendapat
bahwa manusia itu dapat mengkap realitas dengan cara yang alam, dengan
spontan dengan bermacam-macam cara penggunaan indera, melihat, mendengar,
maraba dan menangkap dunia. Tetapi menurut pandangannya bahwa pengetahuan
tentang obyek realitas dengan alami atau spontan demikian itu, belum cukup bagi
filosof. Filosof ingin memperoleh kebenaran yang sempurna dengan cara
mmeneruskan pengetahuan spontan tersebut dengan merenungkannya dan
memikirkannya. Pengetahuan spontan diyakini masih mengandung unsure-unsur
subjektif. Dari harus ditinggalkan, artinya tidak dipakai sebelum diperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam. Terhadap pengetahuan spontan demikian itu
harus diadakan penyaringan, harus diadakan reduction. Sehingga nantinya akan
tinggal fenomenon dalam wujud yang semurni-murninya. Pengetahuan fenomenon
yang murni dan asli, realitas yang murni dan yang asli. Pengetahuan spontan
tentang realitas bukanlah pengetahuan yang sebenar-benarnya. Realitas murni dan
sebenarnya berada di balik fenomenon yang menggejala yang kita tatap dengan langsung
itu. Filosofis ingin menemukan realitas yang murni yang berada di balik
realitas yang menggejala itu. Ini adalah tujuan Husserl dengan fenomenologinya.[21]
G.
CONTOH KASUS
PELARANGAN PENDIRIAN GEREJA
Dalam kehidupan masyarakat sangatlah riskan apabila di liat dari
interaksi ataupun berbicara tentang idiologi masing-masing setiap agama, dimana
dalam hal ini ada sebuah pelarang pendirian Rumah Ibadah bagi orang Kristen,
dimana kesemuanya ini menjadikan persoalan di kalangan Muslim ataupun kalangan
Kristen, kebiasaan bagi orang Kristen untuk beribadah menjadi terhambat, tetapi
orang muslim tidaklah memandang seperti itu, yang dipandang adalah karena umat
Kristen di sana adalah minoritas maka orang-orang Kristen tersebut di sarankan
untuk tidak mendirikan rumah ibadah sendiri, karena sesuai dengan peraturan
pendirian Rumah Ibadah haruslah ada syarat yang wajib di penuhi. Ketika
peneliti / pengamat memperhatikan seperti persoalan demikian, maka peneliti
tidaklah memberikan sanggahan ataupun teori tersendiri tetapi peneliti hanya
sebagai pengamat, secara keseluruhan peristiwa yang ada berbicara sendiri
sesuai dengan realitas yang ada.
KESIMPULAN
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa
yang menampakkan diri pada kesadaran kita.Beberapa tokoh menguraikan
bahwa,setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar,
yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap
fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa
diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan
klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3) fenomenologi agama
diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian
agama. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan
pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan
manusia sebagai konteksnya.
Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan
diharapkan akan menghasilkan.
1. Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga
berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau
mistis.
2. Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan,
khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3. Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
a. Deskripsi ontologis, Deksirpsi ini memusatkan perhatiannya pada “objek”
kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”,
“Kekuasaan” dan sebagainya.
b. Deskripsi psikologis, Perhatian diletakkan pada kegiatan keagamaan itu
sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan
fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
c. Deskripsi Dialektik, Apa yang memperoleh perhatian di sini adalah hubungan
antara subjek dan objek dalam kegiatan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, kata pengantar dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi
Penelitian Agama; Suatu
Pengantar .Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Ali,
Mukti “Metodologi Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullah & M. Rusli
Karim (ed.), Metodologi
Cox,
James L., Exspressing the Sacred: An Introduction to the
Phenomenology of Religion Harare:
University of Zimbabwe, 1992
Dhavamony,
Mariasusai. Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya .Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Ekeke
, C. Rev. Emeka & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The
Study of
Elliston, Federick, “Phenomenology
Reinterpreted: from Husserl to Heideger” dalam Philosophy Today
Erricker
,Clive, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama.Yogyakarta:
LkiS, 2009
Macquarrie,
John, Existentialism. New York: Penguin Books, 1977.
Martin,
Richard C., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta:Muhammadiyah
University Press, 2002.
Mudzhar
,Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek .Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Muhadjir,
Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif.Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989.
Connant,
James B., Modern Science and Modern Man, (Garden City: Doubleday Co.,
1954
Religion
A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research,
Romdon, Drs. MA. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama.Jakarta:
PT Grafindo Persada.1996.
[1]
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 21.
[2]
Taufik Abdullah, kata pengantar dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim
(ed.), Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2004), hlm. x-xii
[3]
Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullah & M. Rusli
Karim (ed.), Metodologi…, hlm. 56.
[4]
Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The
Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific
Research, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[5]
Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm.
110.
[6] Clive
Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 111.
[7] John
Macquarrie, Existentialism (New York: Penguin Books, 1977), hlm. 24.
Federick
Elliston, “Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger” dalam Philosophy
Today, Vol. xxi, No. 3/4, 1977, hlm. 279.
[8] Rev.
Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach…, hlm. 269.
[9] James L. Cox, Exspressing
the Sacred: An Introduction to the Phenomenology of Religion
(Harare: University of Zimbabwe, 1992), hlm. 24.
[10] Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 19., 183-185
[11] Clive Erricker, “Pendekatan
Fenomenologis…, hlm. 113.
[12] Clive Erricker, “Pendekatan
Fenomenologis…, hlm. 114-115.
[13] Op.cit
hlm 115
[15] Dalam
pemetaan Atho Mudzhar, scripture atau naskah-naskah dan simbol agama,
penganut, pemimpin atau pemuka agama (sikap, perilaku dan penghayatan),
ritus-ritus, lembaga, dan ibadah-ibadah (shalat, puasa, haji, pernikahan dan
waris), alat-alat (masjid, gereja, lonceng, peci dan sebagainya). Lihat Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 13-14.
[16]
Ninian smart
[17] Richard
C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, alih bahasa
Zakiyuddin Bhaidawy, cet. Ke-2 (Surakarta, Muhammadiyah University Press,
2002), hlm. 8-9.
[18] Ibid
[19]Drs.
Romdon MA. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama.Jakarta: PT Grafindo
Persada.1996. Hal 83
[20] Drs.Romdon
MA. Metodologi…. Hal 84
[21] Drs.Romdon.MA, Metodologi……….Hal 85
888 Casino New York (New York) - Mapyro
BalasHapus888 울산광역 출장마사지 Casino New York 전라남도 출장마사지 locations, 양주 출장마사지 rates, amenities: expert New York research, only 보령 출장샵 at Hotel and Travel Index. The casino offers a full-service dining 충청남도 출장안마 program,