Kamis, 17 Mei 2012

PENDEKATAN FENOMENOLOGI


PENDEKATAN FENOMENOLOGI
A.    Pendahuluan
            Agama adalah ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya. Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan jangkauannya.[1]
            Persoalannya, agama tidak konstan akan tetapi selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, dalam arti keduanya saling mempengaruhi. Sehingga menurut Taufik Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
  1. Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religionwissenschaft)
  2. Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya. (sosiologi, antropologi, sejarah dst.)
  3. Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran; kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah; kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.[2]
            Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami.[3] Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi (makna) dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa tokoh yang mencetuskan pendekatan Fenomenologi dan bagaimana pengertian dari pendekatan fenomenologi agama itu?
2.      Bagaimana cara kerja fenomenologi agama dalam studi agama?
3.      Bagaimana agama di pandang oleh pendekatan ini dan siapa yang menciptakan agama pada pedekatan ini, dan contoh kasus yang dapat di selesaikan dengan pendekatan ini?
C.    Tokoh dalam Pendekatan Fenomenologi
            Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh seorang filsuf dan matematikawan berkebangsaan Swiss-Jerman Johann Heinrich Lambert dalam bukunya “Neues Organon” yang diterbitkan pada 1764. Lambert mamaknai istilah Yunani tersebut dengan pengertian “The Setting forth or Articulation of What Shows Itself” (pengaturan atau artikulasi dari apa yang menunjukkan dirinya). Ia menggunakan istilah ini untuk mengislustrasikan alam khayalan pengalaman manusia dalam upaya mengembangkan teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.[4] Immanuel Kant (1724-1804) dalam karya-karyanya juga dikenal menggunakan istilah-istilah tersebut untuk membedakan pengetahuan yang immanen (noumena) dan pengetahuan yang menggambarkan pengalaman manusia (fenomena). Namun dalam perkembangannya G.W.F. Hegel dan Edmund Husserls yang disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar fenomenologi.

D.    Pengertian Fenomenologi Agama
G.W.F. Hegel
            Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[5]
Edmund Husserl
            Edmund Husserl, seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa “science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup “life experiences” dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.
            Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epochè dan eiditic vision.
  1. Epochè vision. Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
  2. Eidetic vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[6]
            Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa feneomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (views itself), atau menurut penjelasan Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.”(fenomenology dapat berarti… membiarkan apa yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dan dalam batas-batas dirinya sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri). Untuk ini Husserl menggunakan istilah “intensionalitas”, yakni realitas yang menampakkan diri dalam kesadaran individu atau kesadaran intensional dalam menangkap fenomena apa adanya.[7]
Alfred Schutz
            Tokoh lain yang ikut berperan mengembangkan fenomenologi sebagai metodologi dalam sebuah penelitian adalah Alfred Schutz. Ia menjadikan fenomenologi sebagai landasan bagi sosiologi interpretatif. Dalam kajiannya, dia melihat perilaku sosial sebagai perilaku yang berorientasi pada masa lampau, sekarang atau masa depan seseorang atau orang lain. Ia kemudian memunculkan istilah “the stream consciousness” (arus kesadaran) bahwa lapisan terdalam pengalaman dapat dijangkau dengan merefleksikan menemukan sember tertinggi fenomena makna (sinn) dan pemahaman (verstehen).[8]
Fenomenologi Agama
            Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
            A method adopting the procedures of epochè (suspension of previous judgements) and eidetic intuition (seeing in to the meaning of religion) to the study of the varied of symbolic expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted value from them.
            Sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epochè [penundaan penilaian-penilaian sebelumnya] dan intuisi eiditis [melihat kedalam makna agama] dengan kajian terhadap berbagai ekspresi simbolik yang direspon orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka.[9]
            Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan keadilan.[10]
Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye
            Saussaye menggunakan fenomenologi agama sebagai sebuah kajian komparatif dimana cara kerjanya adalah dengan mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara sistematis. Saussaye membagi agama dalam dua wilayah penelitian yaitu esensi dan manifestasi sebagaimana pemikiran Hegel. Dalam hal ini ia menggunakan sejarah agama untuk kemudian dianalisa berdasarkan konsep-konsep filsafat. Namun Saussaye dikritik karena lebih menggunakan analisa historis dan hanya menitik beratkan pada ritual-ritual keagamaan serta tidak menggunakan pendekatan filosofis.[11]
William Brede Kristenen
            Dalam pandangan Kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristensen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari “makna” fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.[12]
Gerardus Van der Leeuw
            Dalam kritiknya terhadap Kristenen, Van der Leew melihat pemahaman sebagai aspek subjektif dalam fenomenologi yang secara inheren (menyatu) terjalin dari objektifitas sebuah manifestasi. Van der Leew mengkorelasikan pengalaman subjektif, ekspresi dan pemahaman dengan tiga level objektif penampakan yaitu relatifitas penyembunyian, relatifitas transparansi dan secara berangsur-angsur (gradual) menuju manifestasi. Fenomenologi agama Van der Leew didasari tiga bagian fundamental yaitu: Tuhan – manusia – hubungan antara Tuhan dan manusia. Dalam hal ini hubungan antara Tuhan dan manusia merupakan isu sentral yang mendasari pemikiran Van der Leew.[13]
            Menurut Van der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga hal prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berujud, (2) sesuatu itu tampak, (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.[14]
Membiarkan fenomena itu berbicara sendiri, sehingga oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan “prinsip” ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dinyatakan J.B. Connant, bahwa:
The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles”. (Cara berpikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi kenyataan dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi mana pun sebelumnya. Pengamatan yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas penuntun).
            Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3) fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama.
E.     Cara Kerja Pendekatan Fenomenologi
            Setidaknya ada enam langkah atau tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and manifestation: A study in phenomenology of religion”:[15]
  1. Mengklasifikasikan fenomena keagamaam dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
  2. Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
  3. Melakukan “epochè” atau menunda penilaian (meminjam istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
  4. Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
  5. Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
  6. Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.
F.     Agama dalam pendekatan Fenomenologi dan siapa yang Menciptakan Agama, serta Contoh kasus yang dapat diselesaikan oleh Pendekatan Fenomenologi.
            Terkait dengan perkembangan historisn fenomenologi Agama, penelitian Jacques Waardenberg Classical Approaches to the Study of Religion (1973),  merupakan teks subtantif. Dia menulis :
            Untuk menjadikan “agama”  sebagai subjek penelitian empiris dan mulai menelitinya sebagai realitas manusia, niscaya menuntut tidak hanya upaya yang sungguh-sungguh melainkan juga keteguhan hati dan keberanian … salah satu lapangan utama yang secara tradisional dianggap irasional dibuka tidak hanya terdapat penelitian filosofis tetapi juga penelitian rasional.
      Term kunci yang digunakan Waardenberg adalah “empiris” dan “rasional”. Empiris mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ilmiah sebagai suatu metode diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterapkan kedalam ilmu-ilmu social sebagai suatu pengujian terhadap struktur social dan perilaku Rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu, irasional mengindikasikan agama sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan sesuai dengan parameter-parameter tersebut. Dari analisisnya Feuerbach dan Marx, bahwa tugas fenomenolog adalah menunjukan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara yang positif.[16]
Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi pada dasarnya merupakan kritik terhadap ilmu-ilmu lama yang dianggap kaku. Dalam pendekatan fenomenologi Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner saja, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal, melainkan telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan. [17]
Dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut dengan general pattern dan particular pattern. General pattern adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap agama, di luar kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, histori serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut.
Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen mempunyai kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini lebih banyak peneliti yang bersifat subyektif karena berhubungan langsung dengan keyakinan dirinya.
Jadi pendekatan fenomenologi dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan untuk melahirkan satu disiplin tersendiri yang bersifat obyektif dalam kajian agama yang disertai dengan metodologi tersendiri pula. Mudahnya, pendekatan fenomenologi adalah pendekatan yang mencoba menggabungkan sifat obyektif dan subjektif yang ada dalam diri setiap pengkaji agama.
Terdapat dua hal penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi, karakteristik pertama, pentingnya netralitas. Artinya studi agama dengan pendekatan fenomenologi lebih menekankan upaya pemahaman seorang pengkaji agama terhadap agama yang dianut orang lain. Dengan demikian, seorang pengkaji diharapkan untuk sementara mengesampingkan pemahaman dan komitmen terhadap agama yang dianut, dan pada waktu yang sama mencoba mendekati agama orang lain berdasarkan pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Karakteristik kedua adalah kontruksi skema taxonomi dalam mengklasifikasi fenomena menembus batas-batas komunitas agama, budaya, dan bahkan kategorisasi- kategorisasi peristiwa sejarah (epoch).[18]
Dalam kenyatannya, pedekataan fenomenologi ini tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti: kalam, antropologi, hermeneutic, sosiologi, histori, dan yang lain. Cara fenomenologi mengetahui fakta atau data dengan kata lain bagaimana cara fenomenologi memperoleh pengetahuan. Caranya adalah dengan menatap langsung kejadian atau keadaan atau benda atau realitas yang menggejala. Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya membuat uraian tentang fenonenologi dalam bukunya adalah :
         Fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos, kata logos yang disini yang menjadi logi tak perlu diterangkan karena sudah dikenal dalam banyak susunan seperti sosiologi, etnologi, biologi dan lainya.  Jadi fenomenologi berrti uraian atau percakapan tentang fenomenon atau yang sedang menampilkan diri. Menurut cara berfikir berbicara filsafat dewasa ini dapat juga dikatakan sesuatu hal ynag menggejala.
Kutiapan diatas menegaskan bahwa objek fenomenologi itu adalah fakta atau gejala atau keadaan, kejadian atau benda atau realitas yang sedang menggejala. Relalitas yang menggejala itu akan diambil pengertiannya menurut tuntunan realitas itu sendiri, artinya pengertian yang sebenarnya dari realitas itu, bukan pengertian yang tidak asl, misalkan pengertian yang sudah terpengaruh oleh warna sesuatu teori tertentu atau pengertian yang popular sebelumnya. [19]
Senada dengan Prof.Dr.N Driyarkaya, Joachim Wach mengemukakan dalam bukunya, bahwa fenomenologi dapat diaplikasikan untuk menstudi agama dan berpendapat bahwa sifat pokok fenomenologi itu adalah membiarkan realitas fakta, atau  kejadian, keadaan, atau benda berbicara sendiri dalam suasana intention. Intention menurut Husserl berarti kesengajaan mengarahkan kesadaran atau consciousness menyadari atau mengalami realitas dalam kaitannya dengan yang mengelilingi. Barangkalli kalau dibandingkan dengan istilah lain adalah sama dengan dalam keadaan kebutuhannya, jadi holistic. Sedang berbicara sendiri itu tentunya yang dimaksudkan tidak dengan memaksakan suatu skema atau teori yang sudah ada sebelumnya. Dengan mengikuti Bleeker, Joachim Wach seterusnya berpendapat bahwa prinsip pokok yang lain dari fenomenologi itu adalah sikap epoche dan eidetic vision. Walaupun menurut Husserl sendiri yang namanya epoche itu mempunyai pengertian bermacam-maca, tetapi yang di maksud oleh Wach di sana barangkali adalah menunda mengambil keputusan tentang realitas yang ditatap langsung itu serta menyaring pengetahuan-pengetahuan yang alami, dan editic vision berarti mengambil pengertian yang inti dan yang murni yang memang diharapkan anak muncul dengan sendirinya. Tentu saja pencaharian eidos atau pengertian yang esensi itu tidak sekali terjadi ada epoche dan melepaskan diri dari aneka macam teori, baik teori Filsafat, Teologi, Psikologi atau lainya.[20]
Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya, Edumund Husserl (1859 – 1983) sebenarnya bertujuan akan menerangkan bahwa pengertian atau pengetahuan manusia benar-benar ada dan mempunyai obyek.  Hussel berangkat dari pendapat  bahwa manusia itu dapat mengkap realitas dengan cara yang alam, dengan spontan dengan bermacam-macam cara penggunaan indera, melihat, mendengar, maraba dan menangkap dunia. Tetapi menurut pandangannya bahwa pengetahuan tentang obyek realitas dengan alami atau spontan demikian itu, belum cukup bagi filosof. Filosof ingin memperoleh kebenaran yang sempurna dengan cara mmeneruskan pengetahuan spontan tersebut dengan merenungkannya dan memikirkannya. Pengetahuan spontan diyakini masih mengandung unsure-unsur subjektif. Dari harus ditinggalkan, artinya tidak dipakai sebelum diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. Terhadap pengetahuan spontan demikian itu harus diadakan penyaringan, harus diadakan reduction. Sehingga nantinya akan tinggal fenomenon dalam wujud yang semurni-murninya. Pengetahuan fenomenon yang murni dan asli, realitas yang murni dan yang asli. Pengetahuan spontan tentang realitas bukanlah pengetahuan yang sebenar-benarnya. Realitas murni dan sebenarnya berada di balik fenomenon yang menggejala yang kita tatap dengan langsung itu. Filosofis ingin menemukan realitas yang murni yang berada di balik realitas yang menggejala itu. Ini adalah tujuan Husserl dengan fenomenologinya.[21]
G.      CONTOH KASUS
PELARANGAN PENDIRIAN GEREJA
Dalam kehidupan masyarakat sangatlah riskan apabila di liat dari interaksi ataupun berbicara tentang idiologi masing-masing setiap agama, dimana dalam hal ini ada sebuah pelarang pendirian Rumah Ibadah bagi orang Kristen, dimana kesemuanya ini menjadikan persoalan di kalangan Muslim ataupun kalangan Kristen, kebiasaan bagi orang Kristen untuk beribadah menjadi terhambat, tetapi orang muslim tidaklah memandang seperti itu, yang dipandang adalah karena umat Kristen di sana adalah minoritas maka orang-orang Kristen tersebut di sarankan untuk tidak mendirikan rumah ibadah sendiri, karena sesuai dengan peraturan pendirian Rumah Ibadah haruslah ada syarat yang wajib di penuhi. Ketika peneliti / pengamat memperhatikan seperti persoalan demikian, maka peneliti tidaklah memberikan sanggahan ataupun teori tersendiri tetapi peneliti hanya sebagai pengamat, secara keseluruhan peristiwa yang ada berbicara sendiri sesuai dengan realitas yang ada.

KESIMPULAN
            Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita.Beberapa tokoh menguraikan bahwa,setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar, yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3) fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan.
1.    Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2.    Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3.     Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
a.      Deskripsi ontologis, Deksirpsi ini memusatkan perhatiannya pada “objek” kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”, “Kekuasaan” dan sebagainya.
b.      Deskripsi psikologis, Perhatian diletakkan pada kegiatan keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
c.       Deskripsi Dialektik, Apa yang memperoleh perhatian di sini adalah hubungan antara subjek dan objek dalam kegiatan keagamaan.







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, kata pengantar dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi          Penelitian Agama; Suatu Pengantar .Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Ali, Mukti “Metodologi Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.),            Metodologi
Cox, James L., Exspressing the Sacred: An Introduction to the Phenomenology of Religion   Harare: University of Zimbabwe, 1992
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya .Yogyakarta:
            Kanisius, 1995
Ekeke , C. Rev. Emeka & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The Study of
            Elliston, Federick, “Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger” dalam            Philosophy Today
Erricker ,Clive, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan          Studi Agama.Yogyakarta: LkiS, 2009
Macquarrie, John, Existentialism. New York: Penguin Books, 1977.
Martin, Richard C., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Surakarta:Muhammadiyah           University Press, 2002.
Mudzhar ,Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek .Yogyakarta: Pustaka       Pelajar, 2007.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif.Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989.
Connant, James B., Modern Science and Modern Man, (Garden City: Doubleday Co., 1954
Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research,
Romdon, Drs. MA. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama.Jakarta: PT Grafindo      Persada.1996.






[1] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 21.
[2] Taufik Abdullah, kata pengantar dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. x-xii
[3] Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi…, hlm. 56.

[4] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach to The Study of Religion A Historical Perspective,” European Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010, hlm. 267.
[5] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110.
[6] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 111.
[7] John Macquarrie, Existentialism (New York: Penguin Books, 1977), hlm. 24.
Federick Elliston, “Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger” dalam Philosophy Today, Vol. xxi, No. 3/4, 1977, hlm. 279.
[8] Rev. Emeka C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological Approach…, hlm. 269.
[9] James L. Cox, Exspressing the Sacred: An Introduction to the Phenomenology of Religion (Harare: University of Zimbabwe, 1992), hlm. 24.
[10] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 19., 183-185
[11] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 113.
[12] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 114-115.
[13] Op.cit hlm 115
[14] James B. Connant, Modern Science and Modern Man, (Garden City: Doubleday Co., 1954), hlm. 19.

[15] Dalam pemetaan Atho Mudzhar, scripture atau naskah-naskah dan simbol agama, penganut, pemimpin atau pemuka agama (sikap, perilaku dan penghayatan), ritus-ritus, lembaga, dan ibadah-ibadah (shalat, puasa, haji, pernikahan dan waris), alat-alat (masjid, gereja, lonceng, peci dan sebagainya). Lihat Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 13-14.

[16] Ninian smart

[17] Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, alih bahasa Zakiyuddin Bhaidawy, cet. Ke-2 (Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 8-9.
[18] Ibid
[19]Drs. Romdon MA. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama.Jakarta: PT Grafindo Persada.1996. Hal 83
[20] Drs.Romdon MA. Metodologi…. Hal 84
[21]  Drs.Romdon.MA, Metodologi……….Hal 85

1 komentar:

  1. 888 Casino New York (New York) - Mapyro
    888 울산광역 출장마사지 Casino New York 전라남도 출장마사지 locations, 양주 출장마사지 rates, amenities: expert New York research, only 보령 출장샵 at Hotel and Travel Index. The casino offers a full-service dining 충청남도 출장안마 program,

    BalasHapus